Pernikahan

11Feb12

Per-nikah-an adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah, kata itu berasal dari bahasa Arab yaitu kata nikkah (bahasa Arab: النكاح ) yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: نكاح) yang berarti persetubuhan.

samara; sakinah mawaddah wa rahmah

samara; sakinah mawaddah wa rahmah

Islam adalah Agama fitrah dimana manusia di-cipta-kan Allah ‘Azza wa Jalla sesuai dengan fitrah ini. Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh manusia –pria dan wanita– untuk menghadapkan diri mereka ke Agama fitrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan sehingga manusia bisa tetap berjalan sesuai fitrahnya. Pernikahan adalah fitrah manusia, maka dari itu Islam menganjur-kan untuk menikah karena nikah merupakan gharizah insaniyyah –naluri kemanusiaan–, dimana gharizah –naluri– ini harus-lah dipenuhi dengan jalan yang benar dan seharus-nya yaitu pernikahan.

Pernikahan atau tepatnya “keberpasangan” merupakan  ketetapan Ilahi atas segala makhluk –dewasa–. Mendambakan pasangan merupakan fitrah pria dan wanita sebelum dewasa, dan merupakan dorongan yang sulit dibendung  pria dan wanita setelah dewasa. Oleh karena itu Islam men-syariat-kan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, yang kemudian mengarahkan pertemuan tersebut sehingga ter-laksana-nya apa yang di-kenal sebagai “perkawinan”, dengan harapan agar beralih-lah kerisauan pria dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah.

Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam –tenangnya sesuatu setelah bergejolak–. Itulah sebabnya mengapa pisau dinama-kan sikkin karena pisau adalah alat yang menjadikan binatang yang di-sembelih tenang dan tidak bergerak, setelah tadi-nya ia meronta. Sakinah –karena  pernikahan– adalah  ketenangan  yang dinamis dan aktif, sama sekali tidak seperti kematian binatang.

Cinta, mawaddah, rahmah dan amanah adalah tali-temali ruhani perekat perkawinan,  sehingga jika cinta pupus dan mawaddah putus, akan masih ada rahmah, dan kalau  pun ini  tidak tersisa, masih akan ada amanah, dan selama pasangan itu ber-Agama, amanah-nya akan tetap terpelihara.

Mawaddah tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d- yang  maknanya berkisar pada  kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Mawaddah mengandung makna lebih luas dan dalam daripada cinta. Bukankah yang hanya men-cintai, se-sekali hatinya akan kesal juga, sehingga memungkinkan cinta-nya pudar bahkan hilang dan putus. Tetapi jika yang ber-semai dalam hati adalah mawaddah maka tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang ber-cinta ketika rasa cinta tersebut hilang. Ini disebabkan karena hatinya telah menjadi begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya-pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin –yang mungkin juga datang dari pasangannya–. Begitu lebih kurang yang disebutkan pakar Al-Quran Ibrahim Al-Biqa’i (1480 M) ketika menafsirkan Ayat-Ayat yang ber-bicara tentang mawaddah.

Rahmah adalah kondisi psikologis yang  muncul di-dalam hati akibat menyaksikan  ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing  suami  dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkan-nya.

Islam meng-garis-bawah-i hal ini dalam rangka jalinan perkawinan karena  betapapun hebat-nya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun  lemahnya  seseorang,  pasti akan ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak akan luput dari keadaan yang se-demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi. Suami dan Istri pada hakekat-nya saling membutuhkan sebagaimana di-gambar-kan layak-nya kebutuhan manusia akan pakaian, yang juga  berarti  bahwa suami istri –orang masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan– harus dapat berfungsi “menutup kekurangan  pasangannya”,  sebagaimana pakaian menutup aurat –kekurangan– pemakainya.

keberpasangan

keberpasangan

Amanah adalah se-suatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang di-amanah-kan tersebut akan di-pelihara dengan baik, serta ke-beradaan-nya akan aman di tangan yang diberi amanah itu.

Istri adalah amanah di-pelukan suami, suami pun amanah di pangkuan istri. Tidak  mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami –sedemikian juga istri– tidak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya.

Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang membesarkannya, dan “mengganti” semua itu  dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki “asing” yang menjadi suami-nya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam.

Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil di-laku-kan, kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiaan-nya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan ke-bahagiaan-nya dengan Ibu Bapak, dan pembelaan suami terhadapnya tidak akan lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan istri  kepada  suami-nya dan itulah yang di-sebut dalam Al-Quran dengan nama mitsaqan ghalizha yang ber-makna perjanjian yang amat kokoh.

Menikah merupakan sunnah yang diagungkan dalam Islam. Al-Qur’an menyebut-kan pernikahan dengan mitsaqan-ghalizha. Mitsaqan-ghalizha adalah sebutan dari perjanjian yang paling kuat di-hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, hanya 3 kali Al-Qur’an menyebut tentang mitsaqan-ghalizha, dimana 2 perjanjian berkenaan dengan tauhid, sedang yang lain adalah perjanjian Allah ‘Azza wa Jalla dengan para Nabi ulul-azmi –Nabi yang paling utama di-antara para Nabi–, dan ber-kenaan dengan pernikahan. Pernikahan oleh Allah ‘Azza wa Jalla ter-masuk yang di-golong-kan sebagai mitsaqan-ghalizha, dimana Allah ‘Azza wa Jalla langsung menjadi saksi ketika  melakukan ijab-kabul –akad nikah–.  Setiap jalan menuju mitsaqan-ghalizha niscaya akan di-mulia-kan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Demikian-lah dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan manifestasi dari ibadah. Harapan dengan pernikahan akan mendapatkan pahala dan balasan jika di-dasari dengan ke-ikhlas-an niat, maksud dan keinginan yang benar, yaitu pernikahan untuk menjaga diri dari perbuatan yang di-larang, serta sudah pasti tidak hanya di-landasi ber-dasar-kan dorongan hawa-nafsu semata. Pernikahan ber-tujuan membangun keluarga Muslim yang ter-hormat dan me-nyemarak-kan dunia dengan keturunan yang sholeh. Islam memberikan penghormatan yang suci kepada niat dan ikhtiar untuk pernikahan karena hakikat utama nikah menikah dan pernikahan adalah masalah kehormatan Agama.   Pernikahan


Mahar Uang Hias

05Feb12

Mahar atau lazim disebut mas kawin adalah salah satu syarat wajib dalam pernikahan Muslim. Mahar diberikan oleh pengantin pria kepada pengantin wanita. Bentuk mahar semakin bermacam-macam, bisa berupa uang, emas, se-perangkat alat sholat, bahkan hafalan Al-Qur’an dan lain sebagainya tergantung kepada kemampuan dan keinginan pengantin pria. Saat ini yang kerap dijadikan mahar adalah uang kertas maupun uang koin. Pada hakekatnya mahar pernikahan adalah sesuatu yang sebaiknya berharga, mempunyai nominal, membawa manfaat dan membahagiakan calon istri karena mahar pernikahan memang hak sepenuhnya calon istri.

Mahar Uang Hias

Mahar Uang Hias

Kreasi mahar dengan sejumlah uang kertas maupun uang koin dapat dikombinasikan dengan aneka bahan lainnya sehingga menjadi sebuah hantaran yang mempesona saat acara pernikahan. Misalnya dengan dibentuk menjadi rangkaian bunga lengkap dengan vas yang kemudian disusun cantik diatas frame, dapat pula dibentuk menjadi berbagai macam bentuk model apa saja yang diinginkan seperti Mesjid dan lain sebagainya. Singkatnya, kita dapat membuat aneka modifikasi kreasi mahar yang dibentuk menjadi hiasan dalam frame yang membuat tampilan hantaran mahar pengantin pria menjadi lebih cantik, elegan dan ekslusif.

Yang saat ini sedang menjadi tren adalah mahar uang dalam frame. Sejumlah uang kertas dan uang koin yang dilipat dan disusun sedemikian hingga, dihias dan ditempatkan dalam frame bingkai yang akan tampak seperti lukisan. Frame mahar ini dapat ditempatkan dimana-saja dalam ruangan yang dapat selalu menjadi pengingat akan hari bahagia, dan jika suatu saat nantinya uang kertas atau uang koin tersebut masih dapat digunakan sewaktu-waktu jika dibutuhkan.

Selain mudah dibuat mahar uang hias ini memiliki beberapa kelebihan lainnya, seperti :

  1. Bentuk hiasan yang bisa diciptakan tidak terbatas.
  2. Dapat dikombinasikan dengan bahan lainnya sesuai keinginan.
  3. Bahan umum yang dibutuhkan sangat mudah di-dapat-kan.
  4. Bahan yang di-guna-kan relatif murah.
  5. Dapat saja meng-guna-kan aneka jenis mata uang baik dari besarannya hingga jenisnya.
  6. Waktu yang dibutuhkan untuk pengerjaan mahar uang hias relatif cepat, bahkan untuk kreasi tertentu hanya dibutuhkan kurang dari satu hari pengerjaan.
  7. Mahar uang hias sudah pasti dapat digunakan sebagai salah satu hiasan di rumah.
  8. Awet dan tahan lama, menjadikannya sebagai penanda yang dapat di-ingat akan hari pernikahan.
  9. Jika sewaktu-waktu dibutuhkan, mahar uang hias juga dapat di-“uang”-kan kembali.
  10. Penggunaan mata uang tertentu selain rupiah memungkinkan terjadinya penambahan nilai mata uang akibat fluktuasi di pasar uang.
  11. Penggunaan uang koin dari bahan emas juga dapat menjadi investasi, nilai emas yang selalu naik membuat mahar uang hias akan berharga puluhan kali bahkan ratusan kali setelah masa waktu tertentu.

Demikianlah, jika selama ini kita mengenal mahar pernikahan berbentuk perhiasan emas, uang dan seperangkat alat sholat atau yang belakangan tengah tren adalah mahar uang hias.

Sedikit catatan tentang penggunaan untuk penggunaan mata uang asing seperti Dinar dan Dirham. Dinar emas dan dirham perak mempunyai manfaat dalam jangka waktu yang panjang dikarenakan sifat nominalnya yang tidak tergerus inflasi. Jadi semisal mahar dinar dan dirham ini disimpan, baik dalam lemari maupun dibuat sebagai hiasan cinderamata ber-frame, maka sewaktu-waktu perlu untuk diuangkan nilainya masih tetap tinggi dan menyesuaikan harga emas dan perak pada saat itu. Hal ini tentu berbeda dengan mahar uang hias yang umum saat ini. Jika semisal beberapa tahun yang akan datang perlu uang dan akan menggunakan uang mahar ini, maka nilainya dapat dipastikan telah meluruh lebih dari separuhnya karena gerusan inflasi.   Mahar Uang Hias


Masyarakat Jawa masih mengenal “sesaji”. Bahkan sampai sekarang, masih ada banyak masyarakat Jawa yang meneruskan tradisi sesaji. Namun, yang telah menjadi tradisi bagi masyarakat Jawa ini, oleh masyarakat modern dianggap sebagai klenik, mistik, irasional, dan segala jenis sebutan lain yang terkesan negatif terhadap tradisi sesaji. Hanya sedikit yang melihatnya sebagai manifestasi bentuk lain dari doa. Dalam kata lain, sesaji adalah wujud dari sistem religi masyarakat Jawa.

Sesaji Dalam Pernikahan Jawa

Sesaji Dalam Pernikahan Jawa

Ada bermacam-macam sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa, salah satunya adalah sesaji dalam hajatan pernikahan. Selain itu, ada pula sesaji untuk kematian dan kelahiran, yang dikenal dalam istilah siklus kehidupan manusia Jawa, yaitu: MetuMantenMati (lahir-pernikahan-kematian). Dalam mengadakan acara mantu -hajatan pernikahan- masyarakat Jawa mengenal adanya syarat dan sesaji tertentu.

Tradisi kuno masyarakat Jawa memiliki tata cara lengkap dalam pernikahan; sebelum pernikahan, hari pelaksanaan, dan sesudah pernikahan. Meskipun zaman semakin berkembang, namun kebiasaan untuk tetap mempertahankan tradisi tetap dipegang kuat. Setiap sesaji memiliki maknanya sendiri-sendiri. Bahkan cara pembuatan dan penyajiannya pun berbeda-beda. Kekayaan makna dalam sesaji ini menggambarkan roda kehidupan, lika-liku dan naik turun kehidupan manusia, dari lahir hingga kematian.

Ada 4 jenis sesaji sebelum melaksanakan hajatan mantu. Adapaun sesaji tersebut antara lain :

  1. Sesaji Patenan
    Sesaji Patenan atau biasa disebut sajen kobongan diletakkan didalam kamar tengah. Adapun isi Sajen Patenan antara lain daun keluwih, apa-apa ilalang, dadap srep, kluwak, kara, biji kemiri yang gepak jendul, benda, kisi, cermin, sisir, suri, munyak telon -yang terbuat dari bungan melati, kenanga dan kantil-, tikar yang baru, kendi, damar, cuplak, jajan, minyak sunthi langit, gula kelapa satu tangkep, beras satu kati, pisang ayu, sirih ayu, gambir, jambe dengan tangkalnya, kembang boreh, kemenyan, tebu, bubur merah, bubur putih, bubur baro-baro, kepala kerbau -dapat diganti dengan bagian-bagian kerbau seperlunya saja-, jadah bakar, ayam yang masih hidup, pindang antep, kalak -ikan bakar yang ditusuk tanpa bumbu-, serta uang rong wang seperempat 19,5 sen -untuk zaman sekarang uang jumlahnya bisa disesuaikan menurut kemauan kita-.
  2. Sesaji Pedaringan
    Sesaji Pedaringan ini jenisnya hampir sama dengan Sesaji Patenan, hanya saja ada perbedaan sedikit.Perbedaannya dalam Sesaji Pedaringan tidak terdapat kalak dan pindang antep.
  3. Sesaji Pendheman
    Yang dimaksud dengan Sesaji Pendheman adalah sesaji yang ditimbun. Sesaji Pendheman dimaksudkan untuk menolak hal-hal jahat seperti guna-guna atau tenung. Empluk atau tempat sesaji untuk Sesaji Pendheman itu berisi ikan asin -gereh petek-, kacang hijau, kedelai, telur ayam kampung mentah, biji kemiri, gantal -gulungan daun sirih-, minyak dan air yang dicampur dengan persentase pencampurannya masing-masing setengah botol. Setelah semuanya sudah komplit maka sesaji tersebut ditanam di muka pintu utama, di muka dapur dan perempatan jalan.
  4. Sesaji Buwangan
    Yang dimaksud dengan Sesaji Buwangan adalah sesaji yang dibuang. Adapun isi Sesaji Buwangan adalah ikan asin -gereh petek-, kedelai, kacang hijau, kemiri, telur ayam, gantal -gulungan daun sirih-, minyak dan air yang dicampur dengan persentase pencampurannya masing-masing setengah botol, kembang boreh, bubur merah, bubur putih, baro-baro -bubur putih dengan bubur merah ditengahnya, gecok mentah, semuanya diletakkan di patanen -tempat tidur-, gandok, sebelah timur atau barat gedung -rumah-, semua pintu, pojok rumah, sumur, kamar mandi, toilet, bak sampah, tempat gamelan, perempatan jalan, sungai dan pintu halaman.

Masyarakat Jawa sampai sekarang masih meneruskan legalitas pernikahan. Masalahnya setelah legalitas formal dipenuhi, yang kemudian diutamakan adalah resepsi di gedung. Seolah pesta di gedung merupakan puncak dari yang disebut pernikahan. Religiusitas pernikahan seakan bergeser pada harta kekayaan. Jika dilihat pada pijakan hidup masyarakat Jawa yang terdiri dari: dharma (kewajiban), harta (kekayaan), kama (asmara), dan moksa (hilang), upacara pernikahan zaman sekarang, seakan lebih kuat berorientasi pada harta dan melupakan dharma. Mungkin saja, pernikahan zaman sekarang merupakan representasi dari kehidupan modern yang serba wadag (raga), materialistis, instan dan tidak menganggap penting religi lokal.

Memang sulit dihindari, karena saat ini pada setiap upacara pernikahan hampir selalu ditemukan resepsi. Masyarakat Jawa dalam resepsi pernikahan seperti kembali menghidupkan kebiasaan basa-basi, yang diwadahi dalam gebyar. Namun, itu sesungguhnya menyimpan beragam persoalan dari segi ekonomi, budaya, dan religi. Dari segi ekonomi bisa dilihat pada jumlah biaya dan sumber biaya. Lalu, apakah jumlah biaya yang dikeluarkan minimal bisa impas dari sumbangan atau kado yang diterima. Dilihat dari segi budaya, resepsi pernikahan lebih pada representasi gaya hidup masa kini. Sedangkan dari segi religi, pernikahan yang dilakukan telah menghilangkan atau mengabaikan tradisi sesaji masyarakat Jawa.

Mungkin saja yang menyebabkan religi lokal jawa ini dikesampingkan adalah karena masyarakat Jawa sekarang ini tidak mengenal sesaji, atau kalaupun mengenal hanya sepotong-potong. Tradisi sesaji sepertinya terlihat dan terkesan ribet dan tidak praktis, serta bertentangan dengan budaya instan masyarakat saat ini. Padahal tidak demikian, karena bahan-bahan dalam sesaji dapat dengan mudah ditemukan di sekitar kita, serta dengan praktis dapat pula disiapkan. Jadi, marilah kita melihat kembali representasi sesaji dalam pernikahan adat Jawa, karena selain merupakan wujud lain dari doa syukur dan permohonan, kita  juga dapat ikut serta melestarikan kebudayaan Jawa.   Sesaji Dalam Pernikahan Jawa


Agama dan budaya memaknai pernikahan sebagai suatu bagian penting dari perjalan hidup seseorang, pernikahan yang telah di-ulas sebelumnya sebagai sebuah ritual yang penuh dengan kesakralan. Sebagaimana umumnya harapan tiap manusia, tiap pasangan manusia, tiap keluarga dari pasangan manusia tersebut bahwa pernikahan akan membawa kebahagiaan dan ketenteraman bagi pasangan yang melangsungkan pernikahan, keluarga, masyarakat dan lingkungan pada umum-nya. Harapan-harapan inilah yang kemudian melahirkan rutinitas ritual budaya yang dimaksudkan untuk mendukung niat kebaikan dan kebahagiaan yang ingin diraih dari pernikahan, termasuk dalam menentukan saat-saat yang dipercaya baik untuk melangsungkan hajatan pernikahan berdasar budaya Jawa.

Hajatan Pernikahan Dalam Penanggalan Jawa

Hajatan Pernikahan Dalam Penanggalan Jawa

Dari bulan yang ada dalam penanggalan Jawa juga dikenal adanya bulan yang dianggap baik dan yang dianggap kurang baik untuk melaksanakan hajatan pernikahan. Di-antara bulan-bulan tersebut perlu di-garis-bawah-i bahwa bulan Jumadil Akhir, Rajab, Ruwah dan Besar jika terdapat hari Selasa Kliwon maka akan sangat baik untuk melaksanakan pernikahan. Jika pada bulan-bulan tersebut ter-dapat hari Jumat Kliwon maka juga sangat baik untuk melakukan hajatan pernikahan. Akan tetapi jika pada bulan-bulan tersebut tidak terdapat hari Selasa Kliwon maka Jumadil Akhir, Rajab, Ruwah dan Besar itu termasuk saat yang kurang baik untuk melaksanakan hajatan pernikahan. Jikalau sangat terpaksa maka hajatan tersebut bisa dilaksanakan pada bulan pengganti, seperti bulan Sapar, Rabiul Awal, Jumadil Awal maupun bulan Syawal. Hal itu boleh di-laksana-kan dengan syarat pada bulan-bulan pengganti tersebut terdapat hari Selasa Kliwon atau hari Jumat Kliwon.

Adapun bulan-bulan yang dianggap baik dan kurang baik untuk melaksanakan hajatan pernikahan bedasar penanggalan Jawa, antara lain :

  1. SURA; merunut kepercayaan Jawa pada bulan Sura sebaiknya tidak melakukan hajatan apapun termasuk hajatan pernikahan. Jika tetap melaksanakan hajatan pernikahan di bulan Sura di-khawatirkan akan mengalami kesukaran hidup dan rumah tangga-nya akan banyak terjadi pertengkaran.
  2. SAPAR; melakukan hajatan pernikahan pada bulan Sapar sebenarnya boleh-boleh saja, namun efek yang ditakutkan adalah dalam kehidupan rumah-tangga nya akan memiliki banyak hutang dan serba kekurangan.
  3. RABIUL AWAL; tidak dianjurkan untuk melaksanakan hajatan pernikahan pada bulan Rabiul Awal, karena ditakutkan dalam kehidupan rumah-tangga salah satunya akan meninggal. Jadi, hindari melaksanakan hajatan pernikahan di bulan Rabiul Awal bila ingin menghindari malapetaka.
  4. RABIUL AKHIR; di-per-boleh-kan melaksanakan hajatan pernikahan pada bulan Rabiul Akhir, tetapi harus siap kalau rumah-tangganya mendapat cacimaki dan dipergunjingkan oleh orang lain.
  5. JUMADIL AWAL; pada bulan Jumadil Awal boleh melaksanakan hajatan pernikahan, tetapi dengan resiko dalam kehidupan rumah-tangganya memiliki banyak musuh, mengalami banyak kehilangan dan seringkali tertipu oleh orang lain.
  6. JUMADIL AKHIR; melaksanakan hajatan pernikahan pada bulan Jumadil Akhir dipercaya dapat membawa keberuntungan karena pasangan suami-istri akan memiliki kekayaan yang melimpah-ruah.
  7. RAJAB; bulan Rajab juga sangat baik untuk melangsungkan hajatan pernikahan sebab dipercaya dapat membawa keberkahan, keselamatan dan akan memiliki banyak anak.
  8. RUWAH; bulan Ruwah juga dipercaya sebagai bulan yang baik untuk melaksanakan hajatan pernikahan sebab pasangan suami-istri yang melangsungkan pernikahan pada bulan ini akan mendapatkan keselamatan dan kedamaian dalam rumah-tangganya.
  9. PUASA; bulan Puasa dipercaya sebagai bulan yang kurang baik untuk melangsungkan hajatan pernikahan karena dikhawatirkan pasangan yang menikah pada bulan ini akan mengalami banyak musibah dalam hidupnya.
  10. SYAWAL; bulan Syawal juga dipercaya sebagai bulan yang kurang baik untuk melaksanakan hajatan pernikahan sebab pasangan yang menikah pada bulan ini akan mengalami kekurangan dan banyak hutang.
  11. ZULKAIDAH; bulan Zulkaidah juga termasuk dalam bulan-bulan yang kurang baik untuk melangsungkan hajatan pernikahan karena ditakutkan pasangan yang menikah pada bulan ini akan sering mengalami sakit dan cenderung untuk memiliki banyak musuh karena sering bertengkar dengan orang lain.
  12. BESAR; bulan Besar dipercaya sebagai bulan yang baik untuk melangsungkan hajatan pernikahan sebab pasangan yang menikah pada bulan ini akan mem-peroleh banyak rezeki dan mendapatkan banyak kebahagiaan dalam rumah-tangganya.

Demikianlah, percaya tidak percaya kita tetap harus taat pada hukum-hukum alam. Bagaimana alam ini di-cipta-kan dan di-atur seharusnya membuka kesadaran bahwa tidak ada se-suatu yang kebetulan di alam-raya ini. Nilai-nilai yang kemudian ada dan berkembang sebagai aktivitas pola gerak budaya yang di-legal-kan sesuai dengan apa yang disebut sebagai ketentuan syariat langit dan kitab-kitab suci menempatkan pernikahan sebagai sebuah “fenomena suci”, di-mana pelaksanaan-nya haruslah di-iringi dengan beberapa ketetapan ritual. Aktivitas ritual ini yang kemudian lebih di-kenal dengan sebutan kearifan lokal. Kearifan lokal ini ada dan berkembang sebagai bentuk harapan-harapan positip yang di-ingin-kan lahir melalui sebuah pernikahan, hajatan pernikahan, dan kemudian pula budaya menetapkan ritual-ritual tertentu untuk hajatan pernikahan dan tentu saja termasuk di-dalam-nya tentang menentukan saat-saat yang dianjurkan untuk melaksanakan hajatan pernikahan ber-dasar-kan penanggalan Jawa.   Hajatan Pernikahan Dalam Penanggalan Jawa


Haute Couture

01Dec11

Dalam bahasa Perancis, couture berarti men-jahit atau sulam-menyulam. Dalam dunia fashion istilah haute couture tidak lain adalah desain dan konstruksi fashion yang bermutu tinggi. Di Indonesia busana yang di buat dengan teknik haute couture -dilafalkan sebagai out kutur- disebut sebagai adi-busana. Demikianlah defenisi dari adi-busana –haute couture; alta moda; high fashion–  merupakan teknik pembuatan pakaian tingkat tinggi yang dibuat khusus untuk pemesannya, menggunakan bahan-bahan berkualitas terbaik, biasanya dihiasi detail, dikerjakan dengan tangan dan pembuatannya memakan waktu lama. Para perancang atau dikenal dengan sebutan couturier/couturiere menciptakan model busana dari contoh yang dinamakan toile dari linen atau muslin halus. Kemudian berdasar dari toile inilah busana yang diinginkan dibuat.

haute couture

haute couture

Pada tahun 1858, seorang Inggris bernama Charles Frederick Worth membuka sebuah rumah mode di Rue de la Paix, Paris. Di sinilah ia mem-per-kenal-kan metode baru dalam dunia mode. Worth memproduksi pakaian-pakaian yang kemudian dipamerkan kepada calon-calon pembeli melalui apa yang sekarang dikenal sebagai peragaan busana. Keputusannya untuk menggunakan model hidup dan bukan maneken dianggap sebagai perubahan radikal, sebab hal ini memungkinkan hasil karya seorang perancang busana dilihat oleh banyak orang sekaligus tidak seperti sebelumnya yang hanya dipajang di etalase toko dan hanya dilihat sepintas saja. Pada peragaan busana, para undangan yang berasal dari para pecinta mode dapat bersama-sama melihat kreasi terbaru perancang dengan cukup mendetil. Worth juga mengeluarkan koleksi baru setiap tahunnya, dan ia merupakan perancang busana pertama yang membubuhkan namanya pada pakaian kreasinya dengan menggunakan merek. Inovasi-inovasinya telah membuat ia di-nobat-kan sebagai “Bapak Adi-Busana”.

Kreasi Worth berhasil menarik perhatian Ratu Eugénie, istri Louis Napoléon yang merupakan kaisar Perancis saat itu. Pada masa itu, semua yang digemari oleh anggota kerajaan, termasuk mode yang dikenakan, akan diikuti oleh kalangan atas Perancis, dan negara-negara Eropa lainnya. Karena itulah kreasi Worth semakin dikenal luas, dan metode baru ciptaannya yang disebut haute couture, mulai diikuti oleh perancang-perancang mode lainnya, bahkan hingga saat ini.

Tingginya harga sepotong pakaian haute couture mengakibatkan banyak orang tidak mampu membelinya. Agar mereka dapat terus mengikuti perkembangan mode, banyak di antara mereka yang membayar penjahit untuk meniru model pakaian haute couture. Tentunya hal ini amat merugikan rumah-rumah mode adibusana. Untuk itu, pada tahun 1868 kedua putra Worth membuka sebuah asosiasi rumah mode haute couture yang dinamakan la Chambre Syndicale de la confection et de la couture pur dames et fillettes, atau “Asosiasi Konfeksi dan Adibusana untuk Wanita dan Anak Perempuan”, yang bertujuan menghentikan peniruan pakaian haute couture.

Pada masa belle époque -masa-masa kehidupan menyenangkan akibat stabilitas ekonomi akhir abad 19- sebuah rumah mode haute couture ternama di Paris bisa mempekerjakan dua ratus sampai enam ratus tenaga kerja. Mereka bekerja dalam ruang-ruang terpisah, dan pada masing-masing ruang hanya dikerjakan satu jenis pekerjaan. Proses pembuatan pakaian diawali dengan seorang penjual yang memperlihatkan mode terbaru pada seorang klien, dengan bantuan seorang model. Setelah klien tersebut menentukan pilihannya, berturut-turut dimulailah pembuatan pola, penjahitan, dan pengepasan pakaian.

Adi-busana pertama kali diperkenalkan ke dunia internasional pada acara Exposition Universelle 1900 di Paris. Sebagai upaya untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya industri mode, La Chambre Syndicale mengadakan pameran yang diikuti oleh dua puluh rumah mode ternama seperti Worth dan Doucet, yang menampilkan kreasi yang spektakuler di-hadapan pengunjung internasional. Pameran ini seakan-akan merupakan pernyataan para perancang busana yang berkedudukan di Paris bahwa merekalah pemimpin perkembangan mode dunia saat itu.   Haute Couture


Tidak seorang pun yang dapat mengetahui hubungan apa yang mungkin terjadi di antara dua orang manusia; hal apa yang akan menyatukan mereka dan apa yang membuat mereka bertahan bersama mengatasi segala rintangan. Namun satu hal yang sudah jelas; pernikahan adalah satu-satunya bentuk hubungan antar-manusia yang seharusnya didalamnya kita dapat berhenti bersikap curiga dan menemukan cinta, penerimaan, ketenangan serta rasa aman. Tidak mengherankan karenanya, jika perselingkuhan -dan kebohongan yang menyertainya- merupakan musuh utama pernikahan yang bahagia.

Pengkhianat Tetaplah Pengkhianat

Pengkhianat Tetaplah Pengkhianat

Perselingkuhan alias penghianatan a.k.a peng-hianat-an merupakan topik yang menarik perhatian banyak orang, namun tidak banyak yang ingin secara terbuka membicarakannya. Bahkan pada banyak pasangan yang menikah hanya didapati sedikit suami dan istri yang dapat berbicara satu sama lain mengenai topik perselingkuhan, seakan-akan hanya dengan membicarakannya saja dapat menyebabkan saling tuduh dan curiga di antara mereka. Pada pihak lain perselingkuhan merupakan topik percakapan yang menakutkan khususnya bagi para perempuan -istri-, karena mereka cemas bahwa setiap bentuk percakapan mengenai perselingkuhan akan mengarah pada perceraian.

Perselingkuhan merupakan suatu pelanggaran terhadap eksklusivitas ritual pernikahan. Perselingkuhan terjadi ketika seorang yang telah menikah melakukan hubungan fisik -seksual- dan atau emosional -psikis- dengan seseorang yang bukan pasangannya. Di-Kepercayaan apapun yang mereka anut meng-amin-i bahwa janji pernikahan menuntut untuk “meninggalkan semua yang lain” dan “setia hanya pada pasangan“. Jelas sekali bahwa selain hubungan fisik, kedekatan emosional dengan selain pasangan dapat di-klasifikasi-kan sebagai wujud lain  perselingkuhan, karena kedekatan emosional -psikis- di antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan masing-masing. Sederhananya mungkin dapat disebutkan berselingkuh ketika seorang yang telah menikah memberikan perhatian dan perlakuan yang jauh melebihi kepada seseorang yang bukan pasangan, dibandingkan dengan apa yang dia berikan kepada pasangannya. Konyol memang bila kemudian tidak sengaja kita mendapati bahwa ketertarikan fisik -seksual- sebagai penyebab utama laki-laki berselingkuh, dan emosional -psikis- sebagai penyebab utama perempuan berselingkuh.

Para pasangan menikah menunjukkan beragam reaksi terhadap topik perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan  mereka. Beberapa diantaranya tampak menyerah dengan keadaan sementara yang lain menolak dan berusaha menentangnya setiap saat. Kenyataan bahwa masyarakat pada umumnya tidak dapat menerima konsep pernikahan yang terbuka terhadap hubungan seksual di luar ikatan pernikahan, realiatas ini menyebabkan pasangan -yang berselingkuh- harus berdusta kepada pasangannya dan melanjutkan hubungan perselingkuhan tersebut secara diam-diam dan hati-hati dan tentu saja ketika mendapati realitas ini membuat pasangan legal-nya merasa sedih dan terhina. Tiada hal yang lebih menyakitkan bagi pasangan yang legal terikat dalam kesakralan sebuah pernikahan ketika menyadari realitas bahwa pasangan yang dia percayai selama ini ternyata, ternyata berselingkuh.

ternyata berselingkuh

ternyata berselingkuh

Deformasi budaya membawa perselingkuhan yang intinya merupakan tindakan penghianatan menjadi bagian dari sebuah gaya hidup modern. Realitas ini meletakkan beban yang sangat berat terutama pada kaum perempuan, kenyataan bahwa kaum perempuan yang pada umumnya tidak mengerti harus meminta bantuan kepada siapa ketika menghadapi masalah perselingkuhan dalam pernikahannya. Minimnya dukungan dari pihak keluarga, teman dan masyarakat memaksa tiap istri yang menghadapi kenyataan perselingkuhan dalam pernikahannya untuk terus -dipaksa- bertahan dengan suami -penghianat- mereka, menerima nasib mereka demi keutuhan rumah-tangga, demi citra diri dan keluarga dalam masyarakat hingga kepentingan ekonomi dan keterlanjutan pendidikan anak-anak mereka tanpa pernah mem-peduli-kan pengorbanan yang harus mereka tanggung akibat kondisi tersebut. Pemikiran tradisional yang hidup dalam masyarakat mengatakan bahwa kalau seorang suami bukanlah pemabuk, bukan pula pen-judi, memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap, dan tentu saja tidak melakukan kekerasan terhadap istrinya, maka para-istri sebaiknya me-maaf-kan dan me-lupa-kan penghianatan -perselingkuhan- yang dilakukannya. Kita tidak seharusnya meng-andai-kan seorang perempuan -istri- yang mengetahui bahwa suami mereka ber-selingkuh adalah pribadi-pribadi tolol karena tetap -terpaksa- bertahan dengan suami yang berselingkuh tersebut. Sesungguhnya para perempuan -istri- tersebut berhak memperoleh perlakuan yang lebih dari itu dari seorang suami dan dari sebuah pernikahan.

Demikianlah seorang istri yang bertahan dengan suami yang berselingkuh belum tentu berarti menyetujui perilaku sang suami. Sebagai istri, ia bisa jadi tidak menyetujui perselingkuhan suaminya tersebut, tetapi bila sang istri ternyata memiliki pemahaman bahwa pernikahan -seperti banyak hal dalam hidup ini- tidak lebih dari sebuah proses ‘jual-beli‘, sehingga selama ada ‘keuntungan‘  lain yang dapat ia peroleh dari kebersamaan mereka maka sang istri bersedia meng-abai-kan perselingkuhan tersebut. Setiap perempuan -istri- dipastikan memiliki prioritas utama dalam pernikahan dan tentang konsep hidupnya. Sebagai contoh beberapa diantara perempuan tersebut menetapkan rasa kebersamaan dan identitas sebagai perempuan yang telah menikah diatas segala-galanya, sementara beberapa perempuan lainnya menempatkan kesetiaan sebagai unsur terpenting dalam pernikahannya dan merupakan prioritas yang tidak dapat ditawar lagi, dan banyak prioritas lainnya yang melahirkan kondisi tertentu pula.  Prioritas-prioritas inilah yang bisa saja menjadi pondasi ke-langgeng-an sebuah pernikahan atau ke-hancur-an sebuah pernikahan.

Merunut idiom “lakukan yang saya katakan, bukan yang saya lakukan” menjelaskan gambaran konyol bahwa mayoritas mengatakan mengutuk perselingkuhan tapi sekaligus juga melakukannya. Kendati mayoritas pasangan yang menyatakan sangat setuju dengan pandangan monogami malah terbukti melakukan praktik-praktik poligami terselubung. Memang demikianlah kenyataan yang terbentang bahwa selalu lebih banyak pasangan yang menyatakan diri mendukung monogami daripada yang benar-benar mem-praktik-an-nya. Hidup merupakan sesuatu yang berharga, terlalu ber-harga bagi seorang pasangan -istri atau suami- untuk habis disia-siakan dengan pasangan yang ber-khianat, karena sekali peng-khianat, tetaplah peng-khianat!.   Pengkhianat Tetaplah Pengkhianat


Selama jutaan tahun mungkin lebih, orang percaya sekali bahwa pernikahan bukan cuma ‘media’ bertemunya sepasang insan dalam ikatan cinta. Juga bukan cuma cara alamiah bagi sepasang manusia untuk melanjutkan keturunan. Tapi pernikahan juga dilihat sebagai bagian dari ritual kehidupan yang sakral dan indah. Di belahan dunia manapun, dalam tradisi Agama dan budaya apapun, yang namanya pernikahan selalu dipandang demikian, sakral dan indah. Para antropolog mengarakterkan pesta pernikahan sebagai ritualitas bagi transisi kehidupan manusia (rites of passage). Ritual ini terjadi sewaktu seseorang melewati batas usia atau status sosial. Tidak aneh kalau pernikahan selalu dirayakan dengan ritual khas yang menggambarkan keagungan dan kesakralannya.

Apakah Anda Mampu 'Menikah'?

Apakah Anda Mampu 'Menikah'?

Di Austria, pada abad ke-16 M, pesta pernikahan hanya boleh dihadiri tidak lebih dari 20 orang agar perayaan berjalan khidmat. Dalam kepercayaan Hindu, pernikahan dirayakan dengan meletakkan mempelai pria dan wanita di tengah lingkaran api pengorbanan untuk memberkati kesuburan pasangan tersebut. Terus, keluarga dan undangan berpesta dan menari untuk menunjukkan restu bagi kedua mempelai. Dalam Katolik Romawi, ritual pernikahan melibatkan sejumlah iringan pengantin, sementara itu ayat-ayat dalam Bibel yang membahas pernikahan dibacakan. Pernikahan ini disahkan seorang pendeta dan paling sedikit dua orang saksi. Sedangkan kalangan Protestan memasukkan janji pernikahan untuk selalu cinta dan bergembira baik dalam keadaan susah maupun senang, kaya dan miskin, sakit dan sehat hingga maut memisahkan. Pendeta kemudian menanyakan hal itu kepada pengantin wanita dan pria untuk menepati janji itu dan mereka menjawab, “I do” – Saya bersedia !.

Dalam kepercayaan Yahudi Ortodoks, pasangan yang akan menikah berdiri di bawah sebuah chuppah -tirai- yang menyimbolkan rumah kedua mempelai yang akan dibangun. Kemudian, mempelai pria merayakkannya dengan membanting segelas anggur. Banyak peneliti yang percaya bahwa ritual ini untuk memperingati penghancuran kuil Yahudi yang pertama (Kuil Sulaiman di Yerusalem) oleh bangsa Babilonia pada tahun 586 SM. Sementara itu, Gereja Yunani Ortodoks merayakan pesta pernikahan dengan cara meletakkan mahkota yang diikat dengan pita -biasanya dilakukan oleh orang terbaik menurut mereka- ke atas kepala mempelai pria dan wanita, sebagai tanda restu Tuhan atas pernikahan mereka.

Dalam sudut pandang Islam, pernikahan terjadi melalui prosesi akad nikah yang disebut ijab-kabul yang dilakukan oleh calon pengantin pria dan wali mempelai wanita dengan dihadiri dua orang saksi, disertai pemberian mahar dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Akad nikah dalam Al-Qur’an disebut sebagai mitsaq ghalizh (perjanjian yang kukuh). Tidak main-main, ucapan ini setara dengan perjanjian Nabi dan Rasul kepada Allah SWT.

Demikianlah prosesi pernikahan tersebut menjadi ritual yang sangat disakralkan, tapi seiring perjalanan waktu kesakralan pernikahan tersebut mulai digugat. Hubungan suami-istri sering dianggap tidak adil dan dianggap terlalu berpihak kepada suami. Kata para penggugatnya, wanita lebih sering menempati posisi subordinat dari pada pria. Wanita hampir selalu dituntut untuk melayani ‘kelelakian’ suami dan keluarga. Tidak ada ruang lagi untuk melakukan proses aktualisasi setelah menikah. Orang sering bilang, perempuan yang sudah married urusannya cuma: sumur-dapur-kasur. Kalau tidak ngurus bersih-bersih, ya masak atau menjadi ‘budak nafsu’ suami.

Kondisi ini -dalam versi para penggugat pernikahan- dilegalkan oleh doktrin Agama yang mengekalkan budaya patriarki. Memuja pria. Menurut mereka, kepatuhan istri kepada suami oleh Agama dijadikan sebagai harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pembangkangan merupakan tindakan tercela, bahkan terlaknat.

Friederich Engels dalam bukunya Origins of Family, Private Property and The State (1884), menuliskan bahwa inti keluarga yang hanya berdasarkan paham kepemilikan pribadi tidak lain adalah media penindasan istri -wanita- yang paling parah. Hubungan suami-istri oleh Engels di-analogi-kan sebagai hubungan antar-kelas kapitalis dan proletar. Sedangkan pemikir sosialis lain, Collins, mengibaratkan kaum suami sebagai kaum borjuis dan kaum istri sebagai proletar yang tertindas, baik dalam kaitan fungsi ekonomi, seksual, maupun pembagian tugas dalam keluarga. (Megawangi, 1999: 85). Lebih parah lagi, Engels menuliskan bahwa pernikahan itu sendiri tidak lebih merupakan bentuk pelacuran yang diakui menurut undang-undang, pernikahan hanyalah sebuah jubah resmi untuk pelacuran.

Pernikahan, menurut sebagian orang merupakan pilihan pahit buat kamu wanita, seperti Luce Irigaray seorang feminis Perancis dalam essainya berjudul The Sex Which is not One menyebutkan perkawinan sebagai wujud nilai yang mereduksi hasrat seksual hanya pada suatu bentuk kenikmatan lain yang ada pada diri kaum perempuan itu sendiri.

Para demonstrator feminis lainnya mendramatisir pernikahan dengan nada kegetiran. Mereka katakan bahwa tidak ada pilihan seksualitas lain bagi wanita kecuali dengan menikah (dengan pria), mempersembahkan keperawanan kepada suami di malam pertama; patuh pada praktik poligami; tabu buat men-jomblo; haram menjadi lesbian atau berprilaku biseksual, sadomasokis dan segala bentuk orientasi seksual lain yang dikonotasikan sepihak dan divonis menyimpang oleh mayarakat. Merekapun pasrah dan mengafirmasi nasib seksualnya tanpa pernah berani mempersoalkan meski harus menanggung rasa sakit, baik fisik maupun psikis sepanjang perjalanan pernikahannya bahkan mungkin selama hidupnya.

Apakah Anda Mampu 'Menikah'?

pernikahan itu bak cawan porselen, indah dan mudah pecah

Paradigma yang menyesatkan ini tak urung mengusik ruang pemikiran. Sebuah tantangan yang tak cuma perlu diklarifikasi dalam ruang edikarsus, tapi juga dalam potret rumah tangga sesungguhnya.

Kenyataan di beberapa negara mengalami penurunan angka pernikahan yang diikuti dengan meningkatnya persentase keterlambatan usia nikah. Sebutlah Amerika, negara ini merupakan negara industri yang memiliki angka pernikahan tertinggi sekaligus angka perceraian tertinggi di dunia. Sementara itu di negara-negara Eropa Utara, institusi keluarga juga mengalami keruntuhan. Setengah dari perkawinan di Swedia dan Norwegia berakhir dengan perceraian dan jumlah orang tua yang tidak menikah lagi karena sudah bercerai lebih dari dua kali lebih banyak daripada jumlah orang tua tunggal. Kemudian di Nepal jumlah perceraian juga meningkat hingga 70% dan banyak dilakukan pasangan dari latar pendidikan yang tinggi. Tak terlepas di Indonesia, paradigma peningkatan angka perceraian ini juga terjadi. Tak mengherankan bila budayawan Goenawan Muhammad mengatakan bahwa kesakralan pernikahan itu bak cawan porselen, indah dan mudah pecah.

Sederetan fakta yang dikupas mengabarkan bahwa pernikahan bukan hanya bisa sebagai media pemberi kebahagiaan, tapi sekaligus juga bisa menjadi biang persoalan dan kesengsaraan; perceraian, pengkhianatan, kekerasan dalam rumah tangga, ketergantungan wanita kepada para suami, broken home, nafkah yang tidak layak dan sebagainya. Pernikahan tidak lagi bisa dimetaforakan sebagai jaminan untuk mendapatkan kebahagiaan.

Perubahan orientasi yang disebabkan oleh proses dinamika budaya melahirkan sederet alasan yang melahirkan rasa apatis dan antipati terhadap ritual pernikahan. Sejumlah potret buram rumah tangga dan pernikahan menyebabkan timbulnya stigma super negatif tentang pernikahan. Pernikahan tidak lagi menjadi pilihan ditengah maraknya dinamika budaya yang melahirkan berbagai bentuk solusi-solusi parsial sebagai pengganti pernikahan. Solusi-solusi parsial ini bukan saja menghancurkan tapi sekaligus menenggelamkan manusia kedalam masalah yang jauh lebih rumit. Kelicikan dan kepicikan pemahaman terhadap ayat-ayat Agama serta hilangnya fungsi negara dan masyarakat sebagai pelindung dan pengayom nilai-nilai budaya juga semakin memperparah keadaan. Institusi dan risalah pernikahan yang dulu disakralkan, dipuja-puja saat ini mulai dikoyak-koyak. Kepercayaan pada lembaga pernikahan lambat laun mulai memudar. Keperawanan dan keperjakaan yang dulu hanya dipersembahkan di malam pertama -dan dianggap sebagai sesuatu yang khusus bahkan sakral- kini bisa diberikan kapan saja, bahkan diperjual-belikan layaknya barang dagangan.

Demikianlah sepenggal kenyataan, dengan memohon beribu maaf dan tanpa mengurangi rasa hormat bagaimana ritual  pernikahan telah di-manipulasi dan di-kambinghitam-kan, karena diakui atau tidak akar dari permasalahan yang mendera kesakralan ritualitas pernikahan adalah ekses dari ketidakmampuan dan minimnya kualitas para pelaku pernikahan. Alasan yang mendasari terjadinya proses pernikahan tidak lagi ‘se-ber-harga’ dahulu. Evolusi budaya memang membawa kita ke tahap yang di-anggap maju -identik dengan kemudahan dan budaya instan-, tanpa pernah mencoba memahami ke arah mana sebenarnya melangkah. Politisasi -ketidakjujuran- dan komersialisasi yang memenuhi rutinitas budaya kekinian, mengalir dalam relung-relung nurani modernitas menyebabkan pernikahan tidak lagi jujur dan murni didasari oleh rasa ‘cinta’ dan ‘kasih’.  Dan pertanyaan penutup yang hanya pantas ditujukan kepada pribadi calon pelaku ritual pernikahan sebagai refleksi dari proses evaluasi adalah;  Apakah Anda mampu ‘menikah’?.   Apakah Anda Mampu ‘Menikah’?


Melanjutkan tulisan sebelumnya; Cincin Dari Tanah Liat, telah dipahami bahwa pilihan yang umum tentang bahan pengusung cincin dari senyawa karbida adalah titanium karbida dan tungsten karbida. Selanjutnya sudah pasti timbul pertanyaan apakah perbedaan diantara ke-dua senyawa karbida aka keramik ini. Manakah yang lebih “unggul”, walau ke-duanya sudah pasti tidak bisa dibandingkan dengan superioritas yang dimiliki zirkonium karbida, tapi ke-duanya sudah pasti lebih “unggul” bila dibandingkan dengan cincin berbahan dasar logam tunggal atau kombinasi dari dua atau lebih dari logam tunggal yang umum digunakan seperti emas, perak, platina dan palladium.

Titanium dan Tungsten

Titanium dan Tungsten

Untuk melengkapi pembahasan seputar cincin berbahan dasar keramik, inilah beberapa hal yang dapat dijadikan sudut pandang :

  • Tingkat elastisitas; sebagai logam dan karbida yang umum digunakan sebagai bahan cincin, titanium memiliki tingkat elastisitas yang lebih baik bila dibandingkan dengan tungsten. Secara sederhana dapat digambarkan bila sebuah cincin sengaja dipukul dengan godam, maka cincin yang terbuat dari titanium akan memiliki efek kelenturan yang lebih baik bila dibandingkan dengan cincin yang terbuat dari bahan tungsten. Kemungkinan titanium untuk bisa “pecah” atau “patah” lebih kecil daripada tungsten. Seperti menekan bola dari karet, titanium lebih mampu mengabsorpsi tekanan yang mengenainya daripada tungsten. Hal ini hanya sebagai perbandingan, karena pada kenyataannya titanium dan tungsten tetaplah senyawa karbida yang aman, kuat dan sangat baik untuk digunakan sebagai bahan sebuah cincin.
  • Tingkat kekerasan; faktor ini sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya. Bentukan karbida titanium dan tungsten sama-sama memiliki tingkat kekerasan yang superior bila dibandingkan dengan emas, perak, platinum bahkan palladium sekalipun. Yang menjadi penekanan seputar tingkat kekerasan ini sudah pasti bahwa tingkat kekerasan bentukan logam dalam senyawa karbidanya akan lebih keras bila dibandingkan bentukan logam murni atau kombinasi dari beberapa logam. Senyawa karbida yang tidak lain adalah keramik modern sudah pasti memiliki tingkat kekerasan yang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan tingkat kekerasannya dalam bentuk logam murni atau kombinasinya.
  • Hypoallergenic; bila mencoba membandingkan titanium dan tungsten dalam bentukan karbidanya maka akan didapati bahwa titanium karbida akan jauh lebih hypoallergenic dibandingkan dengan tungsten karbida. Fakta ini disebabkan tungsten karbida yang terbentuk dari ikatan dengan senyawa logam cobalt dan sebagai bahan pengikat yang umum digunakan adalah nikel. Keberadaan dua senyawa tambahan ini menyebabkan titanium karbida memiliki tingkat hypo-allergenic yang lebih baik bila dibandingkan dengan tungsten karbida.
  • Berat jenis; walaupun tidak terlalu signifikan, berdasarkan densitas unsur titanium dan tungsten, akan kita dapati titanium lebih ringan dari tungsten. Titanium dalam bentuk logam murninya 43% lebih ringan dari baja sedangkan tungsten karbida 90% lebih berat dari baja.
  • Pilihan warna; warna titanium dan tungsten akan mengalami perubahan warna bila terpapar senyawa kimiawi lainnya, maka untuk mencegah perubahan warna ini para praktisi pembuat perhiasan biasa melakukan proses anodizasi untuk melapisi warna titanium dan tungsten. Berdasarkan pilihan warna, titanium umumnya akan memiliki warna hitam hingga keabu-abuan, sedangkan tungsten biasa ditemukan hanya dalam balutan warna hitam. Seputar pilihan warna ini, kenyataan baik titanium dan tungsten dapat saja mengalami perubahan warna dari gradasi hitam menjadi keabu-abuan dan cenderung putih, jelas akan sangat berbeda dengan zirconium karbida yang umum didapati berwarna hitam maka akan selamanya berwarna hitam.
  • Harga; cincin berbahan dasar titanium akan lebih murah dari cincin berbahan dasar tungsten. Separasi harga ini disebabkan faktor kesulitan selama proses pembuatan, kernyataannya bahwa cincin berbahan dasar tungsten jauh lebih sulit diproduksi daripada cincin berbahan dasar titanium menyebabkan harga cincin dari bahan tungsten jauh lebih mahal dari cincin berbahan dasar titanium. Sedikit bocoran tentang pembuatan perhiasan-perhiasan berbahan dasar tungsten hanya bisa dilakukan pada tempratur 6.000 pada skala Faranheit, dan proses peleburannya juga hanya bisa dilakukan dalam kondisi hampa udara atau minimal tanpa adanya senyawa hydrogen.
  • Pahatan motif dan ukuran; dari beberapa perbedaan diatas sebenarnya sudah dapat disimpulkan bahwa cincin berbahan dasar tungsten akan lebih sulit di-ukir, pemberian motif-motif seperti celtic hingga pahatan berbentuk tulisan akan lebih mudah dilakukan terhadap cincin berbahan dasar titanium. Faktor kekerasan,  elastisitas dan proses produksi yang menjadi dasar perbedaan ini, fakta bahwa tungsten memiliki tingkat kekerasan yang lebih besar dibandingkan dengan titanium, menyebabkan titanium akan lebih elastis bila dibandingkan dengan tungsten. Hal ini juga yang menyebabkan harga cincin tungsten akan lebih mahal bila dibandingkan dengan cincin dari bahan titanium. Dan jika merambah ke hukum-hukum ekonomi maka cincin yang lebih mudah diproduksi akan berharga lebih murah dan  sudah pasti akan akan lebih banyak ditemukan di pasaran, baik variasi ukuran dan motif ukiran.

Beberapa kesimpulan sebagai catatan kaki :

  • Cincin berbahan dasar tungsten karbida paling banyak dipilih bila dibandingkan dengan cincin berbahan dasar logam atau non logam lainnya.
  • Tungsten karbida 10 kali lebih keras bila dibandingkan dengan emas 18 karat, 5 kali lebih keras bila dibandingkan dengan baja dan 4 kali lebih keras bila dibandingkan dengan titanium karbida.
  • Batuan mulia berlian lebih keras bila dibanginkan dengan zirconium karbida dan zirconium karbida sudah pasti memiliki tingkat kekerasan lebih baik dari tungsten karbida.
  • Berdasarkan tingkat kekerasannya, cincin berbahan dasar tungsten karbida akan lebih kuat bila dibandingkan dengan cincin berbahan dasar logam non logam lainnya. Sudah pasti terkecuali cincin berbahan dasar zirconium karbida.
  • Cincin berbahan dasar tungsten karbida tidak akan pernah bengkok atau mengalami perubahan bentuk, kemungkinan sangat kecil yang ada cincin berbahan dasar tungsten karbida akan “patah” atau “pecah”.
  • Setiap cincin berbahan dasar tungsten karbida yang ada dipasaran dibuat khusus dengan tangan –handmade-, dibentuk khusus hanya dengan menggunakan peralatan pemotong dan pengukir yang terbuat dari batuan berlian.
  • Bila akhirnya jari tangan tempat melingkarnya cincin membesar, cincin berbahan dasar tungsten karbida apalagi zirkonium karbida hanya bisa dilepaskan dengan bantuan para-medis dan para-ahli, alias jangan bermimpi  bisa memotong atau mematahkan cincin tersebut tanpa bantuan mereka.

Demikianlah beberapa sudut pandang dan kesimpulan yang bisa menjadi acuan dalam pemilihan cincin berbahan dasar tungsten karbida dan titanium karbida. Sedikit kembali pembahasan sebelumnya bahwa ternyata adanya kenyataan superioritas semu yang ada pada logam-logam yang umum digunakan sebagai bahan pengusung cincin. Perak, emas, platina bahkan palladium sekalipun yang umum digunakan sebagai material pembentuk cincin tidak lagi menjadi begitu berharga bila dibandingkan dengan keramik, walau pada kenyataannya kita tidak lagi bisa “meng-harga-i” dengan materi makna yang seutuhnya dimiliki sebuah cincin pernikahan walau berbahan dasar tanah liat sekalipun. Tiada harga yang pantas bagi cinta selain kehidupan itu sendiri.   Titanium dan Tungsten