Pengkhianat Tetaplah Pengkhianat

01Dec11

Tidak seorang pun yang dapat mengetahui hubungan apa yang mungkin terjadi di antara dua orang manusia; hal apa yang akan menyatukan mereka dan apa yang membuat mereka bertahan bersama mengatasi segala rintangan. Namun satu hal yang sudah jelas; pernikahan adalah satu-satunya bentuk hubungan antar-manusia yang seharusnya didalamnya kita dapat berhenti bersikap curiga dan menemukan cinta, penerimaan, ketenangan serta rasa aman. Tidak mengherankan karenanya, jika perselingkuhan -dan kebohongan yang menyertainya- merupakan musuh utama pernikahan yang bahagia.

Pengkhianat Tetaplah Pengkhianat

Pengkhianat Tetaplah Pengkhianat

Perselingkuhan alias penghianatan a.k.a peng-hianat-an merupakan topik yang menarik perhatian banyak orang, namun tidak banyak yang ingin secara terbuka membicarakannya. Bahkan pada banyak pasangan yang menikah hanya didapati sedikit suami dan istri yang dapat berbicara satu sama lain mengenai topik perselingkuhan, seakan-akan hanya dengan membicarakannya saja dapat menyebabkan saling tuduh dan curiga di antara mereka. Pada pihak lain perselingkuhan merupakan topik percakapan yang menakutkan khususnya bagi para perempuan -istri-, karena mereka cemas bahwa setiap bentuk percakapan mengenai perselingkuhan akan mengarah pada perceraian.

Perselingkuhan merupakan suatu pelanggaran terhadap eksklusivitas ritual pernikahan. Perselingkuhan terjadi ketika seorang yang telah menikah melakukan hubungan fisik -seksual- dan atau emosional -psikis- dengan seseorang yang bukan pasangannya. Di-Kepercayaan apapun yang mereka anut meng-amin-i bahwa janji pernikahan menuntut untuk “meninggalkan semua yang lain” dan “setia hanya pada pasangan“. Jelas sekali bahwa selain hubungan fisik, kedekatan emosional dengan selain pasangan dapat di-klasifikasi-kan sebagai wujud lain  perselingkuhan, karena kedekatan emosional -psikis- di antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan masing-masing. Sederhananya mungkin dapat disebutkan berselingkuh ketika seorang yang telah menikah memberikan perhatian dan perlakuan yang jauh melebihi kepada seseorang yang bukan pasangan, dibandingkan dengan apa yang dia berikan kepada pasangannya. Konyol memang bila kemudian tidak sengaja kita mendapati bahwa ketertarikan fisik -seksual- sebagai penyebab utama laki-laki berselingkuh, dan emosional -psikis- sebagai penyebab utama perempuan berselingkuh.

Para pasangan menikah menunjukkan beragam reaksi terhadap topik perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan  mereka. Beberapa diantaranya tampak menyerah dengan keadaan sementara yang lain menolak dan berusaha menentangnya setiap saat. Kenyataan bahwa masyarakat pada umumnya tidak dapat menerima konsep pernikahan yang terbuka terhadap hubungan seksual di luar ikatan pernikahan, realiatas ini menyebabkan pasangan -yang berselingkuh- harus berdusta kepada pasangannya dan melanjutkan hubungan perselingkuhan tersebut secara diam-diam dan hati-hati dan tentu saja ketika mendapati realitas ini membuat pasangan legal-nya merasa sedih dan terhina. Tiada hal yang lebih menyakitkan bagi pasangan yang legal terikat dalam kesakralan sebuah pernikahan ketika menyadari realitas bahwa pasangan yang dia percayai selama ini ternyata, ternyata berselingkuh.

ternyata berselingkuh

ternyata berselingkuh

Deformasi budaya membawa perselingkuhan yang intinya merupakan tindakan penghianatan menjadi bagian dari sebuah gaya hidup modern. Realitas ini meletakkan beban yang sangat berat terutama pada kaum perempuan, kenyataan bahwa kaum perempuan yang pada umumnya tidak mengerti harus meminta bantuan kepada siapa ketika menghadapi masalah perselingkuhan dalam pernikahannya. Minimnya dukungan dari pihak keluarga, teman dan masyarakat memaksa tiap istri yang menghadapi kenyataan perselingkuhan dalam pernikahannya untuk terus -dipaksa- bertahan dengan suami -penghianat- mereka, menerima nasib mereka demi keutuhan rumah-tangga, demi citra diri dan keluarga dalam masyarakat hingga kepentingan ekonomi dan keterlanjutan pendidikan anak-anak mereka tanpa pernah mem-peduli-kan pengorbanan yang harus mereka tanggung akibat kondisi tersebut. Pemikiran tradisional yang hidup dalam masyarakat mengatakan bahwa kalau seorang suami bukanlah pemabuk, bukan pula pen-judi, memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap, dan tentu saja tidak melakukan kekerasan terhadap istrinya, maka para-istri sebaiknya me-maaf-kan dan me-lupa-kan penghianatan -perselingkuhan- yang dilakukannya. Kita tidak seharusnya meng-andai-kan seorang perempuan -istri- yang mengetahui bahwa suami mereka ber-selingkuh adalah pribadi-pribadi tolol karena tetap -terpaksa- bertahan dengan suami yang berselingkuh tersebut. Sesungguhnya para perempuan -istri- tersebut berhak memperoleh perlakuan yang lebih dari itu dari seorang suami dan dari sebuah pernikahan.

Demikianlah seorang istri yang bertahan dengan suami yang berselingkuh belum tentu berarti menyetujui perilaku sang suami. Sebagai istri, ia bisa jadi tidak menyetujui perselingkuhan suaminya tersebut, tetapi bila sang istri ternyata memiliki pemahaman bahwa pernikahan -seperti banyak hal dalam hidup ini- tidak lebih dari sebuah proses ‘jual-beli‘, sehingga selama ada ‘keuntungan‘  lain yang dapat ia peroleh dari kebersamaan mereka maka sang istri bersedia meng-abai-kan perselingkuhan tersebut. Setiap perempuan -istri- dipastikan memiliki prioritas utama dalam pernikahan dan tentang konsep hidupnya. Sebagai contoh beberapa diantara perempuan tersebut menetapkan rasa kebersamaan dan identitas sebagai perempuan yang telah menikah diatas segala-galanya, sementara beberapa perempuan lainnya menempatkan kesetiaan sebagai unsur terpenting dalam pernikahannya dan merupakan prioritas yang tidak dapat ditawar lagi, dan banyak prioritas lainnya yang melahirkan kondisi tertentu pula.  Prioritas-prioritas inilah yang bisa saja menjadi pondasi ke-langgeng-an sebuah pernikahan atau ke-hancur-an sebuah pernikahan.

Merunut idiom “lakukan yang saya katakan, bukan yang saya lakukan” menjelaskan gambaran konyol bahwa mayoritas mengatakan mengutuk perselingkuhan tapi sekaligus juga melakukannya. Kendati mayoritas pasangan yang menyatakan sangat setuju dengan pandangan monogami malah terbukti melakukan praktik-praktik poligami terselubung. Memang demikianlah kenyataan yang terbentang bahwa selalu lebih banyak pasangan yang menyatakan diri mendukung monogami daripada yang benar-benar mem-praktik-an-nya. Hidup merupakan sesuatu yang berharga, terlalu ber-harga bagi seorang pasangan -istri atau suami- untuk habis disia-siakan dengan pasangan yang ber-khianat, karena sekali peng-khianat, tetaplah peng-khianat!.   Pengkhianat Tetaplah Pengkhianat