Dialektika Perkawinan Adat

10Apr11

Budaya Nusantara tidak akan pernah musnah, walaupun budaya mancanegara terus-menerus menyerbu budaya Tanah Air. Setidaknya perkawinan adat masih sangat diminati oleh para calon raja ratu sehari masa kini. Saat ini pesta perkawinan adat bahkan tengah mencapai masa keemasannya. Rangkaian upacara perkawinan adat merebak dari kampung-kampung kumuh maupun gang-gang sempit, hingga menembus kawasan-kawasan elite dan hotel-hotel megah berbintang lima.

Dialektika Perkawinan Adat

Dialektika Perkawinan Adat

Namun bukan berarti pesta-pesta perkawinan adat tersebut menjadi imun dari pengaruh budaya asing. Upacara-upacara perkawinan adat tersebut pada perjalanannya kemudian juga mengalami perubahan dan modifikasi sesuai dengan perkembangan zamannya. Sebagai contoh dapat kita temukan dalam riasan pengantin pria maupun wanita. Dulu warna, motif, desain baju dan riasan pengantin tradisional sangat  terbatas, sangat berbeda dengan apa yang kita dapati sekarang.

Karena kini tentu saja keadaanya sudah sangat berbeda. Meski para raja ratu sehari itu tampil dengan baju pengantin tradisional, tampilan mereka tetap tampak modis. Yang terpenting masuknya budaya asing tidak membuat kekhidmatan pelaksanaan budaya leluhur ini menjadi sirna. Pernak-pernik rangkaian upacara ritual perkawinan pada akhirnya menjadi sajian yang dirindukan banyak orang. Saat ini banyak calon pengantin yang ingin menyelenggarakan upacara pesta perkawinan tradisional ini secara lengkap, namun lebih praktis, ekonomis dan efisien. Di satu sisi mereka ingin tetap bisa menikmati kesakralan dan kekhidmatan prosesi upacara tradisional secara utuh, namun di sisi lain mereka tidak ingin terlalu banyak menghamburkan waktu, daya dan dana.

Dialektika Perkawinan Adat

Dialektika Perkawinan Adat

Salah satu contohnya kita temukan dalam perkawinan adat Sunda masa kini, adalah dengan menyatukan beberapa rangkaian upacara menjadi satu. Antara lain, upacara Narosan (melamar) diselenggarakan bersama Tukar Cincin, sementara upacara Ngeuyeuk Seureuh sering disatukan dengan Mawakeun/Seserahan. Jalan tengah ini mungkin saja bisa diterima sebagai solusi “terpaksa” selama tidak menodai makna suci yang terkandung dalam setiap prosesi yang seharusnya.

Karena inti dari upacara-upacara tradisonal tersebut bukan hanya sebagai alat legitimasi dari sebuah perkawinan layaknya sebuah pesta perkawinan biasa, tetapi lebih menekankan kepada harapan-harapan leluhur yang diharapkan tumbuh dari sebuah perkawinan. Sejatinya sebuah perkawinan bukan saja melegitimasi penyatuan dua hati dua keluarga menjadi satu, tetapi juga sebagai awal pembentukan sebuah rumah tangga baru yang dipenuhi dengan harapan-harapan, dan keniscayaan prosesi-prosesi perkawinan adat tersebut sebagai perlambang doa-doa yang yang dilarungkan, mengharapkan hasil akhirnya adalah lahirnya sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan wa rahmah. Akhir kalam bagai sebuah mahacipta nyanyian suci, kita tidak akan pernah bisa memisahkan ketetapan bait dan alunan lirik tanpa merusak keutuhan nyanyian tersebut.   Dialektika Perkawinan Adat