Perkawinan

20Mar12

Perkawinan adalah kata benda turunan dari kata kerja dasar kawin, kata tersebut berasal dari kata jawa-kuno ka-awin atau ka-ahwin yang berarti dibawa, dipikul dan diboyong. Kata ini adalah bentuk pasif dari kata jawa kuno awin atau ahwin, selanjut-nya kata tersebut berasal dari kata vini dalam Bahasa Sanskerta.

ke-setimbang-an

ke-setimbang-an

Perkawinan adalah hak setiap manusia dewasa -laki dan perempuan yang telah memenuhi per-syaratan-. Manusia berhak menikah atau tidak menikah. Hak menikah, berkeluarga dan berketurunan merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi –nonderogable-. Perkawinan haruslah melibatkan dua pihak yang setara -laki dan perempuan- yang dilandaskan atas sebuah akad -perjanjian-, dimana hal ini mempertegas eksistensinya sebagai sebuah transaksi sosial. Penegasan sebagai kontrak sosial ini sangat perlu dalam rangka menghapus pemahaman keliru di-masyarakat bahwa perkawinan itu berarti memiliki, karena sayangnya yang memiliki hanya-lah pihak suami dan bukan pihak istri. Pemahaman yang benar adalah perkawinan mengikat keduanya dalam aturan hukum yang disepakati dan difahami bersama.

Selain itu paradigma yang hidup di-masyarakat memaknai perkawinan sebagai sebuah bentuk ke-pemilikan, dimana menikahi berarti  memiliki. Pemahaman ini membawa kepada relasi yang timpang dalam kehidupan suami-istri. Ketimpangan ini terdengar dari  ungkapan yang sudah baku di-masyarakat, seperti suami menikah -istri dinikahi-, suami memberi nafkah -istri dinafkahi-, suami  membayar mahar -istri menerima mahar-, suami menceraikan -istri diceraikan-, suami merujuk -istri dirujuk-, suami poligami -istri dipoligami-, suami kepala keluarga -istri anggota keluarga dan seterusnya-. Pendek kata, tidak tercermin hubungan kesetaraan suami-istri dalam perkawinan. Tidak mengherankan jika banyak perempuan tidak memiliki posisi tawar dalam perkawinannya. Rumusan defenisi perkawinan secara eksplisit menempatkan perempuan hanya sebagai objek seksual, sebagai barang milik yang berhak di-“nikmati” dan akibat dari objektivikasi tersebut menempatkan kedudukan perempuan menjadi ter-subordinasi, termasuk dalam persoalan hak seksualnya.

Bentukan perkawinan yang ideal seharusnya tegak ber-sendi-kan asas-asas keadilan dan demokratis yang hanya ber-sumber dari  nilai-nilai Agama yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Tujuan-nya tiada lain untuk membangun keluarga yang bahagia dan penuh cinta-kasih, melahirkan keturunan-keturunan yang sah -jelas dan tercatat- menurut hukum dan ber-akhlak mulia, perilaku  suami-istri yang santun, terciptanya rasa saling menghargai, saling memahami dan saling melengkapi menuju kebahagiaan abadi  yang hakiki. Untuk itu setiap perkawinan harus-lah dilandasi atas kejujuran niat dan keteguhan komitmen yang jelas dari para pelaku-nya hanya untuk menggapai apa-apa yang diharapkan hadir dari dan dalam perkawinan seperti yang disebutkan, arah-tujuan yang pasti ini sudah pasti menuntut perkawinan yang dilakukan secara sadar, sukarela dan bertanggung-jawab, sama sekali bukan karena suatu keterpaksaan atau sampai-hingga dilakukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan nafsu-biologis atau tuntutan sosial-budaya –way of life– semata.

Sudut-pandang perkawinan yang didasarkan atas akad yang sifatnya sangat mengikat tentunya hanya dapat dilakukan dalam kondisi sadar oleh pihak laki-laki dan pihak perempuan. Secara tegas tujuan perkawinan yang ber-guna untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan atas kerelaan dan kesepakatan ke-dua belah pihak. Prinsip-prinsip monogami, kerelaan, kesetaraan, ke-adil-an, kemaslahatan, hingga pluralisme dan demokrasi yang tercakup didalamnya sebagai gambaran usaha tunggal untuk mewujudkan kehidupan rumah-tangga yang bahagia dan sejahtera berlandaskan kasih-sayang, serta pasti-nya untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman dan harus bertanggungjawab. Hal-hal inilah yang kemudian merupakan landasan utama dalam penetapan posisi, fungsi-peran dan kedudukan suami-istri serta hak dan kewajiban suami dan istri dalam rumah-tangga.

Hakikat pernikahan ter-tinggi secara indah digambarkan sebagai suatu aktifitas penyatuan kembali pada bentuk asal kemanusiaan yang paling hakiki, yakni diri yang satu -dua menjadi satu-, karena pernikahan pada hakikatnya adalah re-unifikasi antara laki-laki dan perempuan pada tingkatan praktik, setelah didahului re-unifikasi pada tingkatan hakikat yaitu kesamaan asal-usul kejadian umat manusia dari diri yang satu. Secara konkret merupakan hubungan antara kesatuan hakiki sebagai bentuk kesatuan pada level teoritis-idealistis dengan kesatuan praktik -pernikahan- yang tenteram dan penuh kasih-sayang. Dimana ketenteraman dan kasih-sayang ini tidak akan bisa di-rajut manakala salah satu-nya me-negasi-kan dan men-subordinasi-kan yang lain -pasangannya-. Dalam perkawinan seharusnya tidak boleh ada dominasi, baik oleh pihak suami maupun pihak istri. Dominasi sesungguhnya selalu ber-ujung kepada peng-abai-an hak dan eksistensi pasangan. Dan oleh karena itu jika unsur dominasi bisa di-eliminasi dalam relasi suami-istri, maka yang tersisa adalah hubungan yang ber-keadilan dan penuh kasih-sayang.

Keberpasangan yang menjadi hakikat manusia seharusnya telah menjelaskan gambaran re-unifikasi laki-laki dan perempuan, dimana  keberpasangan seharusnya membawa ke-arah usaha-usaha harmonisasi dua peran dan fungsi dari masing-masing pasangan. Perbedaan peran dan fungsi ini haruslah dilandasi atas asas-asas keadilan sebagaimana yang telah disebutkan, inti bagaimana mencapai  tahap harmonis dimana kesetimbangan keberpasangan yang menjadi satu adalah puncak dari perkawinan. Kekurangan dan kelebihan yang dimiliki masing-masing pasangan bukanlah alasan untuk ada-nya suatu dominasi, karena dominasi lahir dari ketidak-mampuan salah-satu pasangan untuk melaksanakan fungsi-peran dan tanggungjawab yang di-emban-nya baik secara pemahaman dan atau penerapan, dimana hal ini sudah pasti mengarah kepada ke-tidak harmonisan kehidupan perkawinan. Hal ini yang menjadi tantangan utama bagi sebuah perkawinan yang bahagia, kemampuan untuk melaksanakan fungsi-peran dan tanggungjawab yang dimiliki pasangan dan men-sinergi-kan dengan fungsi-peran dan tangungg-jawab pasangannya. Ke-setimbang-an dan harmonisasi dari ke-berpasangan inilah yang disebut sebagai hasil dari penerapan asas-asas kesetaraan dan keadilan yang dituntut ada dari dan dalam perkawinan yang bahagia.   Perkawinan