Pernikahan

11Feb12

Per-nikah-an adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah, kata itu berasal dari bahasa Arab yaitu kata nikkah (bahasa Arab: النكاح ) yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: نكاح) yang berarti persetubuhan.

samara; sakinah mawaddah wa rahmah

samara; sakinah mawaddah wa rahmah

Islam adalah Agama fitrah dimana manusia di-cipta-kan Allah ‘Azza wa Jalla sesuai dengan fitrah ini. Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh manusia –pria dan wanita– untuk menghadapkan diri mereka ke Agama fitrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan sehingga manusia bisa tetap berjalan sesuai fitrahnya. Pernikahan adalah fitrah manusia, maka dari itu Islam menganjur-kan untuk menikah karena nikah merupakan gharizah insaniyyah –naluri kemanusiaan–, dimana gharizah –naluri– ini harus-lah dipenuhi dengan jalan yang benar dan seharus-nya yaitu pernikahan.

Pernikahan atau tepatnya “keberpasangan” merupakan  ketetapan Ilahi atas segala makhluk –dewasa–. Mendambakan pasangan merupakan fitrah pria dan wanita sebelum dewasa, dan merupakan dorongan yang sulit dibendung  pria dan wanita setelah dewasa. Oleh karena itu Islam men-syariat-kan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, yang kemudian mengarahkan pertemuan tersebut sehingga ter-laksana-nya apa yang di-kenal sebagai “perkawinan”, dengan harapan agar beralih-lah kerisauan pria dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah.

Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam –tenangnya sesuatu setelah bergejolak–. Itulah sebabnya mengapa pisau dinama-kan sikkin karena pisau adalah alat yang menjadikan binatang yang di-sembelih tenang dan tidak bergerak, setelah tadi-nya ia meronta. Sakinah –karena  pernikahan– adalah  ketenangan  yang dinamis dan aktif, sama sekali tidak seperti kematian binatang.

Cinta, mawaddah, rahmah dan amanah adalah tali-temali ruhani perekat perkawinan,  sehingga jika cinta pupus dan mawaddah putus, akan masih ada rahmah, dan kalau  pun ini  tidak tersisa, masih akan ada amanah, dan selama pasangan itu ber-Agama, amanah-nya akan tetap terpelihara.

Mawaddah tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d- yang  maknanya berkisar pada  kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Mawaddah mengandung makna lebih luas dan dalam daripada cinta. Bukankah yang hanya men-cintai, se-sekali hatinya akan kesal juga, sehingga memungkinkan cinta-nya pudar bahkan hilang dan putus. Tetapi jika yang ber-semai dalam hati adalah mawaddah maka tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang ber-cinta ketika rasa cinta tersebut hilang. Ini disebabkan karena hatinya telah menjadi begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya-pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin –yang mungkin juga datang dari pasangannya–. Begitu lebih kurang yang disebutkan pakar Al-Quran Ibrahim Al-Biqa’i (1480 M) ketika menafsirkan Ayat-Ayat yang ber-bicara tentang mawaddah.

Rahmah adalah kondisi psikologis yang  muncul di-dalam hati akibat menyaksikan  ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing  suami  dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkan-nya.

Islam meng-garis-bawah-i hal ini dalam rangka jalinan perkawinan karena  betapapun hebat-nya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun  lemahnya  seseorang,  pasti akan ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak akan luput dari keadaan yang se-demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi. Suami dan Istri pada hakekat-nya saling membutuhkan sebagaimana di-gambar-kan layak-nya kebutuhan manusia akan pakaian, yang juga  berarti  bahwa suami istri –orang masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan– harus dapat berfungsi “menutup kekurangan  pasangannya”,  sebagaimana pakaian menutup aurat –kekurangan– pemakainya.

keberpasangan

keberpasangan

Amanah adalah se-suatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang di-amanah-kan tersebut akan di-pelihara dengan baik, serta ke-beradaan-nya akan aman di tangan yang diberi amanah itu.

Istri adalah amanah di-pelukan suami, suami pun amanah di pangkuan istri. Tidak  mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami –sedemikian juga istri– tidak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya.

Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang membesarkannya, dan “mengganti” semua itu  dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki “asing” yang menjadi suami-nya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam.

Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil di-laku-kan, kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiaan-nya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan ke-bahagiaan-nya dengan Ibu Bapak, dan pembelaan suami terhadapnya tidak akan lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan istri  kepada  suami-nya dan itulah yang di-sebut dalam Al-Quran dengan nama mitsaqan ghalizha yang ber-makna perjanjian yang amat kokoh.

Menikah merupakan sunnah yang diagungkan dalam Islam. Al-Qur’an menyebut-kan pernikahan dengan mitsaqan-ghalizha. Mitsaqan-ghalizha adalah sebutan dari perjanjian yang paling kuat di-hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, hanya 3 kali Al-Qur’an menyebut tentang mitsaqan-ghalizha, dimana 2 perjanjian berkenaan dengan tauhid, sedang yang lain adalah perjanjian Allah ‘Azza wa Jalla dengan para Nabi ulul-azmi –Nabi yang paling utama di-antara para Nabi–, dan ber-kenaan dengan pernikahan. Pernikahan oleh Allah ‘Azza wa Jalla ter-masuk yang di-golong-kan sebagai mitsaqan-ghalizha, dimana Allah ‘Azza wa Jalla langsung menjadi saksi ketika  melakukan ijab-kabul –akad nikah–.  Setiap jalan menuju mitsaqan-ghalizha niscaya akan di-mulia-kan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Demikian-lah dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan manifestasi dari ibadah. Harapan dengan pernikahan akan mendapatkan pahala dan balasan jika di-dasari dengan ke-ikhlas-an niat, maksud dan keinginan yang benar, yaitu pernikahan untuk menjaga diri dari perbuatan yang di-larang, serta sudah pasti tidak hanya di-landasi ber-dasar-kan dorongan hawa-nafsu semata. Pernikahan ber-tujuan membangun keluarga Muslim yang ter-hormat dan me-nyemarak-kan dunia dengan keturunan yang sholeh. Islam memberikan penghormatan yang suci kepada niat dan ikhtiar untuk pernikahan karena hakikat utama nikah menikah dan pernikahan adalah masalah kehormatan Agama.   Pernikahan