Afeksi Dalam Pernikahan

04Nov12

Menyimak buku kenangan remaja-remaja SMP dan mungkin juga SLTA yang lulus sekolah, yang berisikan biodata, cita-cita dan kata-kata kenangan, hampir dipastikan dapat membuat ter-senyum. Pasalnya, di antara cita-cita dan kata-kata kenangan yang tertulis mungkin saja berisi keinginan menjadi pasangan artis ternama. Terlepas dari kelucuan yang disengaja, bagi banyak individu menemukan pasangan yang didambakan dan hidup dalam pernikahan merupakan sesuatu yang sangat berarti,  dengan harapan melalui pernikahan tersebut akan memperoleh kebahagiaan.

a-ffec-tion

Namun, antara cita-cita dan kenyataan bisa saja berbeda. Pernikahan yang menjadi dambaan, setelah ber-langsung sekian lama ternyata justru dapat menjadi neraka. Banyak ditemukan pasangan yang benar-benar bahagia dalam pernikahan yang panjang, tetapi tak jarang juga ditemukan pernikahan yang kandas di tengah jalan, alias ber-cerai. Perceraian dengan frekuensi yang cukup tinggi, khususnya dikalangan selebriti bagaimanapun juga merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan bagi yang mengalaminya. Baron & Byrne -1994- dalam bukunya yang berjudul Social Psychology memaparkan temuan para peneliti tentang dampak nyata perceraian.

Fischman menemukan adanya penderitaan emosional yang dialami baik laki-laki maupun perempuan yang pernikahannya kandas di tengah jalan. Individu-individu tersebut mengalami rasa kesepian yang parah, depresi dan perasaan marah yang relatif menetap. Beberapa peneliti lain bahkan mendapati akibat yang lebih menyedihkan pada anak-anak dari pasangan yang gagal dalam pernikahannya, anak-anak tersebut me-respon dengan perasaan yang sangat negatif, memiliki self-esteem rendah -merasa tak berharga-, rasa cemas dan tak berdaya yang berlebihan yang apstinya smua hal tersebut akan mengakibatkan gangguan dalam relasi sosial serta prestasi akademik.

up-per-cap-tive

Di sisi lain, survei-survei yang membahas tentang kebahagiaan dalam beberapa dekade menunjukkan hasil yang secara konsisten bahwa pria dan wanita yang menikah akan lebih bahagia daripada yang tidak pernah menikah ataupun yang mengalami perceraian. Gambaran semacam ini dapat menjadi cermin betapa tiap pasangan menikah sangat membutuhkan informasi bagaimana mengelola hubungan dalam pernikahan agar pernikahan tersebut nantinya dapat di-rajut dalam keabadian.

Ketika suatu pasangan menikah mengakhiri suatu hubungan, yang paling sering dikemukakan sebagai alasan adalah “tidak ada lagi kecocokan” atau secara implisit dinyatakan adanya keberadaan pihak ket-tiga -wil dan pil-. Pada dasarnya ada beberapa tipe sumber masalah dalam pernikahan yang diantaranya adalah konflik yang khas dalam relasi pria dan wanita, menemukan ke-tidak-cocok-an dan rasa kebosanan yang menyelimuti pernikahan.

Berdasarkan survei terhadap ribuan responden ditemukan bahwa para wanita pada umumnya merasa sedih bila pasangannya tidak ber-sungguh-sungguh men-cintai dan me-lindungi secara gentle, sedangkan para pria akan merasa sedih bila pasangannya menolak seksualitas-nya dan meng-abaikan. Penelitian lain menemukan bahwa karakteristik tertentu dapat memicu konflik, seperti emosi yang tidak stabil, tidak sensitif –unpercaptive-, dan juga yang dalam hubungan takut merasa di-manipulasi -mudah menjadi curiga-.

Perasan negatif yang sering timbul pada pasangan yang menemukan beberapa perbedaan dalam sikap, nilai-nilai hidup dan pilihan lainnya. Kurangnya mendalami persamaan yang ada di samping perbedaannya. Hal ini biasanya terjadi pada pasangan yang cinta-nya ber-tipe passionate  -lebih bersandar pada emosi-.

e-mo-tion

Idealnya, pada awal hubungan tiap pasangan sudah saling mengenali perbedaan maupun persamaan yang ada. Namun, perbedaan kadang-kadang muncul kemudian tanpa ada kesempatan untuk meng-antisipasi. Misal ketika salah satu pasangan ber-pindah keyakinan, memilih dogma politik yang kemudian berbeda, mengalami masalah obat-obatan dan narkotika, atau menemukan minat tinggi terhadap kehidupan di luar rumah dan sebagainya.

Bagi sebagian individu, menjalin hubungan dalam jangka panjang dapat dirasa membosankan. Ada pasangan yang memutuskan untuk ber-pisah hanya diakrenakan terjadi ke-bosanan satu sama-lain. Untuk menghindari kebosanan, seperti yang telah diketahui, sekali waktu tiap pasanagan sangat perlu mencari stimulasi baru dalam bentuk rekreasi, makan malam spesial, saling berbagi hobi baru, memperbaharui praktek  hubungan seksual dan sebagainya.

Dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang ada, pasangan-pasangan akan mengembangkan kelekatan satu sama lain. kelekatan tersebut ber-beda-beda antara pasangan satu dengan pasangan yang lain. Tipe kelekatan ini akhirnya yang akan menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah hubungan pernikahan. Hazan & Shaver (Baron & Byrne, 1994; Deaux et.al. 1993) memaparkan adanya tiga tipe kelekatan, yakni avoidant -tidak nyaman dalam kedekatan dan atau keintiman dan kurang percaya terhadap pasangan-, anxious-ambivalent -mempersepsi pasangan terlalu jauh, tidak mencintai dan ingin meninggalkan-, dan secure -kesiapan untuk berhubungan erat, merasa nyaman bergantung terhadap pasangan, dan tidak ada ke-khawatir-an bahwa pasangan akan meninggalkan-. dan menurut penelitian dari tiga tipe kelekatan tersebut, ternyata hanya yang bertipe secure yang memungkinkan pasangan untuk membina hubungan jangka-panjang, bertanggung-jawab dan puas dalam menjalani hubungan pernikahan.

Beberapa hal lain yang diketahui dapat mempengaruhi kegagalan dalam pernikahan di antaranya adalah penghasilan rendah atau tidak stabil, pendidikan tidak seimbang, pengalaman per-cerai-an sebelumnya, neurotisme, harapan akan hubungan yang tidak realistis, kurangnya cumbu-rayu, keinginan untuk mandiri, kebutuhan ber-kuasa yang terlalu tinggi pada pria, kebutuhan berprestasi yang juga terlalu tinggi pada fihak wanita, dan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.

se-cu-re

Dua orang peneliti, Lauer & lauer, dalam pemantauan terhadap 351 pasangan yang telah melewati 50 tahun masa pernikahan, menemukan resep pernikahan yang abadi 351 pasangan tersebut adalah persahabatan, komitmen, kesamaan dan perasaan positif. Pasangan-pasangan tersebut berpandangan bahwa pernikahan merupakan komitmen jangka panjang dan bersifat sakral. Mereka ingin hubungan pernikahan tersebut berhasil. Bagi pasangan tersebut pernikahan penting untuk stabilitas sosial. Pasangan-pasangan tersebut juga memiliki satu tujuan yang sama, sepakat dalam falsafah hidup, sepakat dalam hal bagaimana harus menunjukkan afeksi -perasaan kasih-sayang-, dan juga -se-faham dalam memandang kehidupanan seks. Pasangan yang abadi hingga akhir hayat akan menganggap pasangannya sebagai sahabat terbaiknya, saling menyukai dan melengkapi sebagai pribadi, merasa bahwa pasangannya akan semakin menarik dan bangga akan prestasi pasangannya.

Terlalu banyak faktor yang dapat menjadi sumber masalah dalam pernikahan, dan siapa-pun tak akan lepas dari kemungkinan mengalami-nya. Bagaimanapun, kebahagiaan pernikahan merupakan sendi paling penting untuk membentuk masyarakat yang sehat. Setiap individu ber-tanggung-jawab untuk mengusahakan hubungan yang harmonis ter-jadi dalam tiap rumah-tangga, terutama dalam rumah-tangga-nya masing-masing. Banyak hal yang perlu dipelajari dalam usahan untuk dapat meraih kebahagiaan dalam pernikahan. Dimana kebahagiaan tersebut tidak-lah mungkin dapat diraih secara instan. Seperti pelajaran penting yang dapat diambil dari para pasangan yang mampu mempertahankan pernikahan adalah mereka memiliki komitmen yang kuat. Hal lain yang cukup penting adalah adanya kesamaan dalam tujuan, kesamaan dalam falsafah hidup, prinsip-prinsip hidup dalam hal bagaimana harus menunjukkan afeksi dan kehidupan seksual yang seimbang.   Afeksi Dalam Pernikahan